Jumat, 08 April 2011

Sempat Mencemooh 'Apa Belajar Islam? Itu Gila!'

Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia ditimpa banyak masalah. Teman dekatnya meninggal karena kecanduan narkoba. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan keuangan.

"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.

Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben.

Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya," tutur Ruben.

"Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.

Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil beropini," tutur Ruben.

"Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen," katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.

Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. "Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.

Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami."

Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.

Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.

Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, "Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila."

Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben.

Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat," tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.

Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben.

Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.

"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.

"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan".

"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."

Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.

"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. "Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup," tuturnya.

Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. "Ayolah Allah satu saja," ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. 'Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan'" ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.

Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)

Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben.

Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.

Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat belepotan, pemandu saya bilang 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben.

Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.

Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir 'Allahu Akbar' dari jamaah pria yang berada dalam masjid. "Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.

"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara."

Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu." tutur Ruben.

Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."

Source

Demi Islam, Anas Diusir dan Sempat Jadi Kuli Panggul

Abdullah Anas, 19 tahun, lahir dan dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Ayahnya seorang pendeta, sehingga dari kecil ia tumbuh dalam keluarga agamis. Anas dan kedua kakaknya sangat rajin manjalankan ibadah ke gereja.

Gereja tempat ia beribadah membagi 2 waktu bagi jemaatnya dalam sehari, dan dalam sehari pula ia pergi ke sana. "Tujuan saya untuk dapat benar-benar mendapatkan ilmunya ” tutur anak ke 3 dari 4 bersaudara ini

Tapi, selain sangat taat dengan keyakinan Protestannya, ia rupanya juga tertarik dengan agama lain, yaitu Islam. “Sejak duduk di bangku SMP saya suka mengamati kegiatan teman-teman saya beragama Islam, saya tertarik dengan acara-acara yang ada, seperti hari raya kurban, Isra Mi’raj, bulan Ramadhan dan sebagainya” tutur nya

Dorongan besar untuk mengetahui Islam lebih dalam kian dirasakan Anas di bangku SMA. Hingga ia memutuskan mengikuti dua pelajaran agama, Kristen dan Islam sekaligus di sekolah.

“Memang dulu guru sempat tidak mengizinkan saya mengikuti dua mata pelajaran agama, tetapi setelah saya berbicara dengan guru agama Islam dan menceritakan ketertarikan itu, saya diperbolehkan mengikuti dua-duanya," tutur Anas.

Dengan mempelajari kedua agama itu pengetahuannya tentang Islam semakin luas dan hatinya mulai memiliki kecenderungan. Tapi Annas tidak ingin gegabah. Ia berpikir pula risiko ke depan.

“Saya tahu, keinginan saya untuk masuk Islam sangat besar. Tapi kalau saya nekad dan terburu-buru pindah agama ayah saya pasti sangat marah dan tidak menutup kemungkinan sekolah saya akan terlantar," ungkapnya.

“Jadi saya lebih memilih memendam keinginan itu sampai saya lulus sekolah dan benar-benar yakin dan sanggup menerima apapun yang akan terjadi nanti” lanjutnya. Meski menunda niat menjadi Muslim, Anas tak lantas menunda mencari pengetahuan tentang Islam.

Berpisah jalan dengan sang ayah

Ketika lulus SMA, Anas beserta ayahnya pindah sementara ke Jakarta, karena sang ayah akan menjalankan pelayanan di salah satu gereja di ibu kota. Anas yang sudah lulus SMA saat itu sudah terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Nasional di Jurusan Hukum.

Selama ayahnya sibuk dengan pelayanan digereja, Anas juga sibuk belajar tentang Islam lebih mendalam. Hingga akhirnya, tepat di bulan Agustus, 2010, Anas mendatangi Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng untuk mengikrakan syahadat.

“Saat itu pulang kuliah, saya nekad datang ke masjid dan minta untuk di-Islamkan. Setelah bercerita panjang lebar kepada pengurus masjid, mereka bersedia mengislamkan saya," katanya. Anas mengaku, perasaannya kala itu itu bercampur aduk.

“Saya sadar, begitu ayah tahu, maka ia akan marah besar. Tapi bagaimanapun, saya harus menceritakan bahwa saya sudah menjadi muslim” lanjutnya.

Begitu memeluk Islam, Anas kembali kerumah. Ia menceritakan semuanya kepada ayahnya. Seperti yang telah ia duga ayahnya begitu murka dan tidak menerima keputusannya. Saat itu juga, Anas disuruh angkat kaki tanpa membawa barang-barangnya.

“Namanya juga pendeta, tidak sudi kalau anaknya berpindah Agama. Saat itu saya hanya menggunakan baju yang melekat di tubuh, sepatu dan tas. Handphone pun diminta oleh ayah”

“Kebetulan saya memegang dua handphone dan saya hanya mengembalikan satu pada ayah, dengan alasan yang satu lagi rusak dan sedang diperbaiki. Saya tau ponsel itu akan berguna bagi saya.” lanjutnya

Pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa dirasa Anas sangat beresiko. Sebelum benar-benar pergi jauh Anas berhasil mengambil Ijazahnya diam-diam dengan pemikiran itu dapat menolongnya kelak.

"Saya tidak punya keluarga di Jakarta, seandainya adapun mereka tidak akan mau menampung saya. Jadi saya harus sanggup menjalani hari-hari sendirian” kenangnya.

Berhari-hari Anas melalui hidup tanpa kejelasan. Semua fasilitas telah ditarik kembali. Karena tak ada pasokan uang untuk biaya kuliah status Anas sebagai mahasiswa tak lagi melekat.

Kehidupan Keras

Untuk menyambung hidupnya ia menjual ponsel--yang semula ia beli seharga dua juta--dengan harga empat ratus ribu. Anas juga sempat bekerja menjadi seorang kuli panggul di Pasar Kramat Jati.

“Saya tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Merasakan dinginnya angin malam, merasakan pedihnya hidup dijalan. Ini perjalanan hidup terbesar saya” tuturnya. Hidup berpindah-pindah ia alami. Bukan hanya sehari dua hari, melainkan sampai berbulan-bulan.

Lambat laun Anas merasa hidupnya kian tak terarah. Ia pun memutuskan mendatangi salah satu masjid besar, niatnya untuk memproleh pelajaran mengenai Islam lebih dalam. Namun sangat mengecewakan, jangankan mendapat ilmu, diperbolehkan masukpun tidak.

“Saat itu saya datang dengan keadaan seadanya, baju saya kotor dan keadaan saya sangat lusuh," kenang Anas. "Ketika akan memasuki pekarangan masjid, ada salah seorang bapak menggunakan kopiah mengatakan bahwa saya tidak boleh masuk masjid karena pakaian yang kotor”

“Saya mengatakan pada orang tersebut agar mau mengajarkan saya tentang Islam, tetapi ia menolak dan langsung pergi," katanya. Saat itu ia sangat kecewa dan putus asa. "Bagaimana tidak? Seorang muslim saja tidak mau membagi ilmunya untuk orang yang baru masuk Islam seperti saya ini.”

Mengaku putus asa, Anas memilih jalan pintas. Anas pergi ke Gereja dan bertemu pendeta. Ia menceritakan kisahnya, termasuk mengapa ia diusir dan mengaku menyesal. Pendeta itu dengan sangat antusias menawarkan segala kemudahan bagi Anas.

“Setelah mendengar cerita saya, pendeta itu menanyakan segala macam kebutuhan saya, bahkan ia akan memberikan segalanya agar saya mau kembali ke agama sebelumnya. Saat itu saya hanya bilang ingin makan, pendeta itu pun memberikan uang Rp 20.000 dan mengharapkan saya kembali ke gereja itu setelah makan," tutur Anas.

Menemukan 'Rumah'

Entah mengapa setelah mendapatkan uang, Anas malah berpikir pergi ke warung internet (warnet). "Di sana saya mencari tempat khusus menampung orang-orang yang baru menjadi seorang muslim seperti saya, dan saya menemukan alamat sebuah yayasan di daerah Jagakarsa”

Dengan tekad menggebu-gebu, Anas mendatangi tempat tersebut, dengan harapan bertemu orang-orang yang bisa membantunya. “Saat itu posisi saya di Kramat Jati, sedangkan posisi yayasan tersebut di Jagakarsa. Karena uang yang diberikan pendeta tersebut sudah terpakai untuk makan dan membayar warnet saya memutuskan untuk berjalan kaki. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk menemukan alamat itu.”

Kini Anas sudah memiliki kelurga baru, di Yayasan Bina Insan Mualaf. Itulah tempat yang ia temukan di internet, di mana ia mengaku merasakan indahnya Islam, indahnya berbagi dan keakraban.

“Memang terdengar aneh, ayah saya seorang pendeta, saya pun termasuk orang yang aktif dalam kegiatan agama saya sebelumnya," ujarnya mengenang kisahnya. Tapi ia menganggap itulah hidayah Allah. "Mungkin karena saya yang benar-benar memahami kitab saya dulu, sehingga membuat saya mencari kitab suci yang sesungguhnya, mencari agama yang benar dan saya temukan itu dalam Islam. Hanya orang-orang cerdaslah yang mengetahui kebenaran ajaran Agama Islam."

Kini Anas mengaku dibina oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya. Ia belajar bacaan shalat dan juga belajar mengaji. Saat ini ia sedang mempelajari surat-surat pendek, yang menurutnya agak sulit, tetapi ia mengaku terus berusaha.

“Kalau boleh dibilang, Islam itu bagi saya hanya dua kata, lengkap dan sempurna. Komplit semua ajarannya dan semua diajarkan dalam Islam karena itu ini agama yang sempurna.” ujarnya.

Anas berharap semua muslim dimanapun dapat lebih memperhatikan Mualaf seperti dirinya. Ia menanggap dirinya masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan agar dapat menjadi seorang muslim yang sesungguhnya.

Source

Melihat Buruknya Perlakuan terhadap Muslim, Jennifer Tertarik pada Islam

Jennifer Fayed merasakan perkawinannya suram. Ia melihat tak ada ambisi pada suaminya yang pengangguran, yang telah dinikahinya tiga tahun. Ia mendapati dirinya hamil, sementara dua anaknya yang masih kecil belum bisa lepas dari pengawasan.

Jennifer, yang berusia 21 tahun dan masih kuliah, mulai merenungi tujuan hidupnya di dunia. Pikiran itu menggantung di benaknya: “Pasti ada alasan atas keberadaan saya.”

Orang tuanya baru saja pindah ke Republik Dominika, sebuah negara kecil di Karibia. Ia merasa ditinggalkan, kendati punya suami dan dua orang anak. Ini lantaran selama ini ia merasa orang tua lah yang menjadi panutan baginya, yang menjadi dasar bagi siapa dirinya dan akan menjadi siapa ia berjuang.

Kala itu ia sedang tertidur saat mendapat telepon panik dari ibu mertuanya yang berteriak “Ada pesawat jatuh, pesawat jatuh di Manhattan.” Jennifer bertanya bingung, “Apa, apa yang Ibu bicarakan!” Ia menyalakan televisi dan melihat menara kedua World Trade Center (WTC) dihantam pesawat.

“Saya shock! Siapa yang bisa melakukannya, siapa yang sanggup melakukan kekejian ini?” ujar Jennifer. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. “Apakah ini mimpi?” Ia berharap ini hanyalah sebuah film. “Ayo katakana ini hanya film,” katanya dalam hati.

Ia baru saja mengunjungi WTC sehari sebelumnya. Ia melihat ini sebagai bukti bahwa belum saatnya dia mati. Ia merasa belum mencapai tujuan dalam hidup. “Saya tak tahu apa tujuan itu, tapi ini bukanlah saatnya bagi saya.”

Hari itu Manhattan dilanda chaos. Jennifer tak tahu hari itu menjadi awal perubahan drastis yang akan terjadi dalam hidupnya.

Tak beberapa lama setelah serangan 11 September, Jennifer terbang mengunjungi orang tuanya di Republik Dominika. Saat itu kehamilannya berusia satu bulan. Suaminya telah mengetahui kehamilannya.

Ia berpikir bagaimana memberi tahu kehamilan ini kepada orang tuanya. Maklum, anak pertamanya adalah hasil hubungan di luar nikah, yang membuatnya terpaksa menikah guna menutupi aib. Well, katanya dalam hati, saya akan memikirkannya di Karibia nanti.

Ia terbang menggunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587. Ia merasa begitu cepat terbang setelah serangan WTC. Keamanan di bandara sangat ketat, dan orang-orang di pesawat berdoa, beberapa bahkan tak lepas berdoa sepanjang penerbangan. “Saya mulai tertawa dalam hati. Jika kami akan mati, maka itu takdir kami.”

Jennifer terus memikirkan kehamilannya. Ia sebenarnya tak ingin kehamilan ini. Selain tak direncanakan, ini berarti mulut ketiga untuk diberi makan, sementara ia sudah kewalahan menghidupi dua orang anak, apalagi tiga.

Ia begitu bingung. Ia menghabiskan waktu bersama orangtuanya mencoba memberitahu mereka tentang jabang bayi. Ia merasa tak sanggup memberi tahu mereka, bahwa putri tertua mereka kembali mengecewakan mereka.

Karenanya, Jennifer memutuskan untuk aborsi dan tak ada yang perlu tahu dirinya hamil. “Solusi yang gampang,” pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain, ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, yang memandang aborsi adalah sesuatu yang tabu dan dosa.

Ia kembali ke New York dari Karibia, dan membuat janjian dengan klinik Planned Parenthood untuk mulai melakukan aborsi. Ia bertanya apakah bisa menggunakan pil untuk aborsi ini.

Betapa kecewanya Jennifer bahwa dirinya harus menjalani aborsi penuh karena tenggat untuk melakukan aborsi dengan pil sudah terlewati satu pekan. Ia sangat depresi. “Saya berkata dalam hati, Oh Tuhan, mereka akan mengangkat bayi ini dari perut saya. Apa yang telah saya lakukan?” Ia tak tahu apakah sanggup melalui ini semua.

Ia memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, tidak menggunakan Rosario atau pergi ke gereja. Untuk pertama kali, ia akan berdoa langsung kepada Tuhan layaknya teman. Ia merasa Tuhan harus menolongnya. Tuhan adalah tumpuan terakhir.

“Saya menangis sambil terus memohon. Oh Tuhan tolonglah, saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingin bayi ini, tapi pernikahan saya sedang guncang, dan kami tak punya uang untuk menghadirkan seorang bayi lagi ke dunia ini. Saya percayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tolonglah, jika Tuhan menghendaki saya memiliki bayi ini, saya akan menerimanya. Dan, jika kehendak Tuhan untuk mengakhiri kehamilan ini, saya juga akan menerimanya.”

“Saya memasrahkan penderitaan ini kepada Tuhan. Tuhan yang saya sembah dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara yang diajarkan kepada saya. Tuhan, yang bagi saya tak punya pendamping, tak punya anak, hanya sesuatu yang saya tahu telah menciptakan saya,” kata Jennifer. Ia kehabisan akal memikirkan kehamilannya.

Hari-hari berlalu, Jennifer sedang menyaksikan televisi saat sebuah siaran berita menginterupsi acara. “Oh tidak. Tidak serangan teroris lagi,” katanya. Sebuah pesawat kembali jatuh di New York, kali ini di kawasan Queen, daerah asal Jennifer. Ia khawatir ini kembali ulah teroris. Ia terheran-heran mendengar nomor penerbangan dan tujuan pesawaat tersebut. Pesawat naas itu American Airlines dengan nomor penerbangan 587 tujuan Republik Dominika. Ya, pesawat yang ditumpanginya sepekan lalu. Rasa dingin menjalar di punggungnya.

Jennifer terpaku. Ia membayangkan bisa saja dirinya yang ada dalam pesawat itu. Ia merasa ini pertanda dari Tuhan. Ini bukan pertama kali dalam kurang dari sebulan ia begitu dekat dengan kematian. “Tuhan mencoba mengatakan sesuatu.”

Sepekan setelah permohonannya kepada Tuhan, Jennifer mulai merasakan keram. Keram ini berbeda dengan yang biasa dirasakan pada trimester pertama kehamilan. Ia mengacuhkannya, bukan masalah besar.

Hari berlalu, rasa keram itu semakin parah, dan perdarahan pun mulai terjadi. Ia begitu takut. “Apakah saya keguguran?” Ia bergegas ke rumah sakit dan menjalani istirahat (bed rest) ketat.

Pulang ke rumah, Jennifer masih harus beristirahat di tempat tidur kendati rasa keram mulai berkurang. Saat tertidur, ia merasakan sakit luar biasa. Ia merasakan sesuatu keluar. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya pergi ke kamar mandi dan menemukan segumpal daging keluar.” Jennifer keguguran di usia kehamilan dua bulan. Saat kembali ke rumah sakit, pihak rumah sakit memastikan ia telah keguguran. Padahal, keesokan harinya, ia dijadwalkan oleh Planned Parenthood untuk menjalani proses aborsi, pada 15 Oktober 2001.

“Ini seakan tidak nyata. Apakah ini keajaiban dari Tuhan? Apakah Tuhan menjawab doa saya. Saya merasa Tuhan memberitahu bahwa kehidupan saya akan berubah. Akan berubah seperti apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan kuliah dan saya tidak bisa bertahan lebih lama dengan suami yang tak ingin kerja dan tak punya ambisi dalam hidup.” Jennifer akhirnya memutuskan untuk bercerai dari suami pertamanya.

Di lingkungannya, New York, Jennifer menyaksikan betapa buruknya perlakuan terhadap Muslim. Perlakuan ini terjadi begitu cepat setelah serangan 11 September. Setiap hari selalu ada berita yang melaporkan tentang kejahatan karena kebencian terhadap Muslim. “Sungguh mengerikan. Saya menyaksikan langsung orang-orang pindah berjalan di trotoar seberang jalan hanya karena mengira ada Muslim. Bisnis Muslim sepi. Tak ada yang ingin membeli dari toko Muslim. Di jalan, orang-orang berteriak kepada Muslim, Pergi ke negaramu, Teroris, Taliban!!”

“Mengapa orang-orang mengatakan kata-kata ini kepada orang-orang yang tak bersalah? Saya sepakat pelaku serangan adalah orang yang kejam, tapi kenapa menyalahkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan serangan?”

Dari sinilah muncul ketertarikannya. Jennifer mulai penasaran apa yang diyakini oleh Muslim. Ketertarikannya semakin besar setiap hari. Ia kemudian mendaftar untuk mengikuti sebuah acara di kampus. Di sana ia bertemu Muslim dan melontarkan berbagai pertanyaan tentang Islam. “Mengapa Anda mengenakan jilbab? Siapa yang Anda yakini? Siapa itu Muhammad yang sering Anda bicarakan?”

“Beberapa orang punya jawaban, namun sebagian besar tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan saya. Kebanyakan wanita Muslim yang saya tahu tak mengenakan jilbab dan mengatakan ini pilihan, dan mengatakan tak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.” Jennifer merasa tak ada orang yang mampu memberikannya jawaban. Sehingga, ia berpaling ke internet untuk mencari jawaban. Di sana lah ia mengetahui tentang Islam.

“Saya tak percaya bahwa Tuhan telah mengutus nabi lainnya setelah Yesus. Saya tahu Tuhan tak akan menciptakan saya dan semua orang di dunia tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami. Mengapa kami di sini? Mengapa orang-orang selalu mengatakan Tuhan itu tritunggal, dan ini hanya menguatkan apa yang saya percayai sejak berusia 14 tahun bahwa Tuhan itu satu tanpa pendamping.”

“Saya mencari kebenaran atas semua pertanyaan saya dan Islam menjawab semuanya. Muhammad adalah nabi yang luar biasa. Ia adalah nabi terakhir, yang terakhir diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita.”

Jennifer memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang Nabi Muhammad. “Apakah ia manusia sungguhan? Apakah dia benar-benar ada?” Jennifer terkejut mengetahui Nabi Muhammad adalah manusia sungguhan. Bukan saja Muhammad adalah seorang nabi yang menyampaikan wahyu, namun seluruh hidupnya telah terdokumentasikan. “Saya takjub, inilah agama saya,” pikirnya. “Keyakinan yang selama bertahun-tahun saya cari, yang disebut Islam,” katanya.

Jennifer mengikuti tarawih Ramadhan pada musim gugur 2002, meski ia belum masuk Islam. Saat itu masjid penuh oleh jamaah. “Tak seperti keuskupan yang hanya dihadiri satu jenis ras atau kebangsaan di sebuah gereja khusus, masjid dipenuhi berbagai orang dari berbagai spektrum. Mereka sangat akrab dan selalu mengatakan Assalamualaikum,” ia mengisahkan. Ia tak tahu apa artinya itu. Ia hanya mengangguk malu.

“Saatnya melaksanakan sholat. Ini sholat pertama saya seperti seorang Muslim,” katanya. Ia sebenarnya tak tahu apa mereka lakukan. Namun, seorang temannya mengatakan ‘ikuti saja apa yang mereka lakukan’. Jadi, itulah yang ia lakukan.

Jennifer berkomat-kamit meniru jamaah lainnya. Ia juga ikut bersujud, tanpa tahu maksud dan alasannya. “Saya menikmatinya. Saya kagum bahwa semua Muslim menghadap Kabah di saat yang sama setiap shalat, tak peduli dari belahan bumi mana mereka berasal. Kami tak punya ini di Kristen, sama sekali tak punya,” paparnya.

Saat itu ia mengenakan jilbab untuk menghormati para jamaah. Ia tak tahu bagaimana cara mengenakan jilbab. Jadi, ia membeli dua helai selendang (scarf) yang ia pasang sekenanya. “Saya merasa anggun dan hangat saat mengenakan jilbab. Saya bisa berjalan di jalanan tanpa dipandang sebagai obyek seksual. Orang-orang memang menatap saya, tapi saya tak peduli.”

Pulang dari masjid pada hari itu, ia bertekad untuk mengenakan jilbab setiap saat. “Orang-orang terus mengatakan bahwa saya tak perlu mengenakan jilbab karena saya bukan seorang Muslim. Saya hanya berkomentar ini keputusan saya dan ini bukan urusan mereka. Saat mengenakan jilbab, ada perasaan aman, perasaan hangat dalam hati, bahwa saya mengikuti perintah Tuhan. Saya tak peduli terhadap tatapan dan komentar negatif dari orang-orang.”

Jennifer merasa belum melakukan cukup. Ia pun melakukan puasa dalam beberapa hari di bulan Ramadhan. Lalu, ia berpikir bagaimana mengatakan ini semua kepada orang tuanya.

Saat orang tuanya datang dari Republik Dominika, Jennifer tengah serius mempertimbangkan untuk mengucap syahadat. “Hanya saja, saya tak tahu bagaimana memberi tahu keluarga saya, terutama ibu saya karena ia sangat cerewet kepada saya. Saya telah mengenakan jilbab, jadi saya tak bisa melepaskannya hanya karena mempertimbangkan perasaan ibu saya, karena kewajiban saya adalah kepada Allah, lalu baru kepada orang tua,” ungkapnya.

Sebagai awal, Jennifer memberitahu adiknya, Catherine, yang lima tahun lebih muda. Ia ingin melihat reaksi Catherine, yang mungkin akan sama dengan reaksi orang tuanya. Ia memanggil Catherine dan berkata, “Hey Catherine, saya melakukan sesuatu.”

Adiknya tak terkejut. Maklum, Jennifer memang biasa melakukan sesuatu di luar norma. “Apa yang kamu lakukan kali ini Jennifer?”

Jennifer mengatakan dirinya sedang mempertimbangkan masuk Islam, dan ia kini telah mengenakan jilbab. Catherine tertawa kencang. “Ia mengatakan kini saya benar-benar telah ‘melakukannya’ dan orang tua kami akan ‘membunuh’ saya. Ia juga mengatakan tak percaya saya kini salah satu dari teroris itu.”

Namun, Catherine segera menyambung kalimatnya, “Kamu kakak saya dan saya menyayangi kamu tak peduli apa agama yang kamu anut.” “Ia juga mengatakan bahwa orang tua kami akan mengamuk,” ujar Jennifer. Tak berhenti di situ, Catherine lantas mengatakan “Jangan beri tahu ayah dan ibu tanpa saya ada di sana, jadi saya bisa mentertawakan kamu.” Jennifer tahu adiknya hanya bercanda.

Jennifer akhirnya memberanikan diri memberi tahu orangtuanya. “Ayah saya bisa menerimanya. Saya pikir kebanyakan pria akan bisa menerimanya jika hal itu berarti sang anak akan menutupi tubuhnya.”

Namun, ibunya sangat marah dan shock. “Dia terus meyakinkan saya bahwa saya salah langkah dan Islam bukan agama yang tepat. Satu yang yang paling memberatkannya adalah saya mengenakan jilbab.”

Butuh dua pekan bagi ibunya untuk kembali tenang. “Tak lama mereka ahirnya bisa menerima. Bagaimanapun, ibu saya terus mengatakan bahwa ini hanyalah sementara, sebuah tahapan, dan saya akan kembali tersadar,” ungkap Jennifer. Sepekan berselang, Jennifer akhirnya memutuskan untuk mengucap syahadat.

Hari itu, Jumat pertama Januari, Jennifer bangun pagi dengan perasaan membuncah. Ini dia hari H, hari dimana ia akan mengucap syahadat. Ia lalu mandi dan mengejar kereta untuk pergi ke masjid guna mengucap syahadat.

Di masjid, ia menemui imam dan mengatakan ingin mengucap syahadat. Sang imam menatapnya dengan senyuman dan mengatakan “Anda yakin, ini yang benar-benar Anda kehendaki?” Dengan semangat Jennifer menjawab “Ya, ya, ini keputusan saya.”

“Maka, di hari itu, seluruh saudara seiman, laki-laki dan perempuan, bergabung untuk menyaksikan saya masuk Islam,” kata Jennifer. “Hari itu, begitu banyak orang mengucap selamat dan mengatakan kepada saya jika saya membutuhkan apa pun, mereka akan membantu saya. Saya begitu beruntung. Di sini lah saya bersama keluarga baru, sebuah keluarga yang anggotanya berasal dari seluruh belahan bumi.”

“Pada Jumat malam itu saat saya tidur, malam pertama saya sebagai Muslim, saya mengalami mimpi terindah, sebuah karunia. Saya berada di sebuah lembah yang dipenuhi rerumputan hijau nan indah. Perbukitannya begitu indah, tak pernah saya lihat sepanjang hidup, dan saya berjalan di sana menuju seorang pria. Dia juga berjalan ke arah saya, dia mengenakan galabiya putih. Wajahnya samar, tak mirip wajah manusia yang sebenarnya, namun terang seperti matahari. Saya merasa begitu hangat dan aman. Dia memegang tangan saya dan kami berjalan bersama ke arah sebuah batu melingkar yang besar. Di batu itu ia duduk dan saya duduk di rumput. Ia kemudian mengatakan kepada saya ‘Selamat datang ke Islam’.”

Saat terbangun, Jennifer merasakan perasaan yang begitu indah dalam hatinya. “Saya pikir inilah Rasul. Ia datang untuk menyambut saya masuk Islam. Saya kemudian mendapati bahwa itu bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu malaikat Allah yang telah menyambut saya, karena malaikat tak memiliki wajah manusia, namun wajahnya samar (blur).”

Jennifer merasa sangat spesial sejak hari itu. “Sebuah malaikat, malaikat Allah datang untuk menyambut saya kepada agama Allah, agama saya. Agama yang begitu saya dambakan sejak kecil. Islam adalah agama yang sebenarnya.”

Jennifer Fayed kini menjadi penulis yang tingal di Carolina Utara, AS. Berbagai tulisannya telah menginspirasi banyak orang. Ia memiliki gelar di bisnis pemasaran, dan anggota aktif Muslimah Writers Alliance.

Source


Semula dari Forum Penghujat Islam, Kini Ia Gabung Grup Mualaf, Facebook

Bertahun-tahun yang lalu, William Junaedi menganggap semua agama sama, yang membedakan hanyalah nama-nama Nabi sebagai utusan Tuhan. Namun kelak, pandangan itu berubah sepenuhnya ketika ia mulai bergaul dengan internet.

Pada tahun 2008, lelaki berdarah Cina-Betawi itu berhenti dari tempat kerjanya. Ia membeli sebuah komputer dan melanggan internet.

"Ketika sedang menganggur, sehari-hari saya hanya bermain internet. Browsing sana-sini, mencari tahu segala hal yang belum saya ketahui," tutur Wiliam.

Hingga suatu hari ia menemukan satu laman yaitu forum kumpulan orang non-Muslim. Dalam forum itu, mereka menjelek-jelekan agama Islam.

Beberapa minggu William aktif memantau forum tersebut. Isinya hanyalah hujatan dan caci maki terhadap agama Islam. Penghuni forum itu menampilkan diri seolah-olah mengetahui dan paham betul mengenai sejarah Islam, Al-quran beserta hadist yang menurut mereka sangat tidak masuk akal.

Ketika membaca postingan penuh hujatan terhadap Islam, William menggeleng-gelengkan kepala. "Apa benar yang mereka bicarakan? Saya pun menjadi semakin penasaran ingin mengetahui kebenarannya.” lanjut pria berusia 29 tahun itu.

Akal sehat William tak bisa menerima komentar-komentar kasar dari anggota forum yang ia nilai sangat mengintimidasi dan melecehkan. William pun melakukan pencarian. Saat itu ia mendapat info alamat email sebuah live chat perdebatan mengenai Islam. Ternyata di sana jauh lebih parah.

Salah satu admin live chat, tutur William, mengatakan mereka telah menemukan satu hadist yang menceritakan bahwa Nabi dulu pernah melakukan perbuatan asusila terhadap Abu Sofyan saat masih kecil, "Disebutkan pula bahwa Nabi pernah tidur dengan mayat. Kami memperdebatkan itu semua," kata si bungsu dari 5 bersaudara ini.

Satu tahun lebih William mengikuti debat di live chat. Berbarengan dengan itu, toko milik kakaknya bangkrut. William beserta keluarga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Berbeda saat memantau forum non-Muslim, kali ini kata-kata di live-chat itu merasuk ke hatinya.

Ketika pindah ke Jakarta, William berada dalam fase ‘kebencian tingkat tinggi’ terhadap Islam. Sampai-sampai ia selalu berdebat dengan kakak iparnya yang Muslim.

“Setiap hari saya mendebat kakak ipar saya, mengapa Islam begini? Mengapa Islam begitu?. Kakak ipar William, menurut dia, sampai terlihat dilema dan kesulitan dengan kelakuannya yang selalu mendebatnya tiada henti.

Namun William berhenti juga mendebatkan Islam dan memilih memelajari Kristen yang sudah lama ia anut. Ia berharap dengan mengetahui Kristen lebih dalam ia dapat menemukan jawaban atas semua kebenaran Tuhan. Tetapi, William mengaku tak mendapat apapun.

“Awalnya saya ingin memperdalam ilmu agama saya, tetapi apa yang saya peroleh? Semua nihil. Saya tidak mendapat jawaban yang masuk akal dari agama saya sebelumnya," ujar William. "Saat membaca alkitab saya hanya merasa seperti membaca novel, tidak ada yang spesial” ungkap William.

Kebimbangan dengan agamanya justru mendorong William mencari tahu Islam lebih lanjut. Dj sisi lain ia juga tertarik dengan Muslimah berjilbab dan mengunduh foto-foto wanita berkerudung serta menyimpannya dalam satu folder. Keisengannya itu ternyata diketahui oleh kakak iparnya.

“Saat itu kakak ipar saya bongkar-bongkar komputer, dia menemukan folder koleksi foto wanita berkerudung yang saya miliki," tutur William. Kontan kakak ipar William pun menanyakan perihal itu kepadanya. "Tapi saat itu saya membantahnya," kenang William

Ketika mengingat forum ‘non-Muslim’, William terbersit untuk mencari forum Muslim. Ia menemukan satu chatt room khusus pemeluk Islam, bernama ‘café Islam’. Di dalam forum itu ia banyak bertanya mengenai agama Islam. Hingga William memutuskan bertemu salah satu anggota chatt room untuk berbagi langsung.

“Berbeda dengan forum non-Muslim yang saya temukan sebelumnya, di ‘café Islam’ tidak ada makian kasar untuk agama non-muslim” cerita William

Pertemuan William dengan salah satu anggota ‘café Islam’ membuatnya terkesan. Anggota itu juga memberikan sebuah buku kepada William, berjudul “Saksikan Aku Sebagai Muslim”.

“Saya senang dengan pertemuan itu, berbincang dengan orang Islam yang membuat saya semakin tertarik dengan Islam," akunya "Ditambah lagi, dia memberikan saya buku. Walaupun pada saat itu saya kebingungan menyimpannya. Karena takut ketahuan orang di rumah” tutur William.

Usai pertemuan itu William kian intens mendalami Islam, hingga muncul keinginan untuk memeluk Islam. Dorongan itu kian kuat ketika ia--yang mulai sering melamun di atas rumahnya--mendengar suara orang mengaji. Di kuping William, suara itu terdengar merdu. Saat itu pula terbesit di benak William untuk berdoa kepada Allah.

“Suara lantunan ayat Al Qur'an itu terdengar sangat berirama dan enak sekali di dengarnya," ungkap William. Ia tak pernah mendengar semacam itu di agamanya." Saya pun langsung berdoa dalam hati ‘ya Tuhan, kalau memang ini Agama yang benar dan merupakan karuniamu tolong dekatkan aku dengan Islam, jika bukan maka jauhkanlah” kenang William

Beberapa waktu setelah itu, William membuat sebuah akun Facebook, di sana ia bergabung dengan group ‘Mualaf Indonesia’. Lagi-lagi ia banyak menanyakan mengenai Islam dan mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam

“Awalnya saya berpikir, lucu juga kalau muka Cina seperti saya pakai kopiah. Tapi ternyata di Mualaf Indonesia banyak orang-orang seperti saya (Cina-red) dan mereka memeluk Islam. Saya jadi tak merasa asing,” tuturnya

Keinginan William masuk Islam mendapat sambutan hangat dari anggota grup Mualaf Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 13 September 2009, William di-Islamkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan melakukan khitan pada 5 November 2009.

Resmi menjadi Muslim, William menceritakan keputusan besar itu kepada orang tua. Saat itu, ibu William marah besar dan mogok bicara dengan William. Sementara ayahnya lebih membebaskan William memilih.

“Mama tidak mau bicara sama saya, terlihat sekali kalau mama kecewa," tutur William. Ayahnya tidak melarang, karena ayah William rupanya pernah menjadi seorang muslim. "Tetapi lantaran tidak ada yang membimbingnya akhirnya ia menjadi murtad” kata William

William mengaku berat ketika keputusannya tidak disetujui oleh sang ibu. Tapi William tak berputus asa. Saat hubungan dengan ibunya menegang, William mengambil wudhu dan berdoa kepada Allah agar membukakan pintu hati ibunya.

Doa yang dipanjatkan William ternyata dijabahi Allah. Hanya dua hari berselang, ibunya tak sanggup lagi mogok bicara dengannya. Akhirnya ibu dan anak itu pun berbicara dari hati ke hati dan ibunya pun menerima keputusan William.

“Setelah mama bisa menerima saya sebagai seorang muslim saya menjadi lega, meski banyak teman-teman saya yang juga keturunan Cina mengucilkan dan memutuskan silaturahmi dengan saya.” ujar William Walaupun ada yang tak menyukai keputusan William, tak lantas mengendurkan semangatnya untuk mempelajari Islam.

Setelah memeluk agama Islam, William kian merasakan kedekatan Allah terhadap dirinya. Ia mengaku menjadi Muslim itu nikmat. “Yang paling luar biasa, ketika shalat berjamaah dimasjid. Semua orang Muslim, mulai pedagang, pegawai bahkan pejabatpun shalat berdampingan tanpa ada perbedaan,” ujar William

Tak lama setelah ia menjadi Muslim, ia merasa kian mendapat banyak berkah. William mendapat panggilan kerja di salah satu SMA Negeri di Jakarta sebagai guru bahasa Inggris.

“Memang Allah tak pernah tidur, ia akan menolong setiap umatnya yang membutuhkannya. Kita hanya perlu berdoa dan bersabar. Sama seperti saya yang harus berdoa dan bersabar demi menemukan agama yang benar” tuturnya.

Saat ini William terus mempelajari Islam. Ditemani salah satu rekan kerjanya, William aktif mengikuti kegiatan pengajian yang ada di masjid-masjid.

Source

Albumnya Laku 7 Juta Copy, Rapper Loon Malah Masuk IslamAlbumnya Laku 7 Juta Copy, Rapper Loon Malah Masuk Islam

Di Amerika Serikat, nama Bad Boy Records amatlah kesohor sebagai label rekaman yang mengusung aliran musik rap. Salah satu penyanyi yang pernah bernaung di bawah payung label ini adalah Loon. Loon sendiri merupakan nama panggung yang digunakan oleh penyanyi yang memiliki nama asli Chauncey Lamont Hawkins ini.

Bersama dengan pemilik Bad Boy Records yang juga rapper Amerika, Sean John "Diddy" Combs, dan penyanyi Usher, Loon berkolaborasi membawakan single berjudul I Need a Girl di tahun 2002. Dan, dalam waktu singkat single yang menjadi lagu pertama dalam album bertajuk We Invited The Remix itu langsung menduduki posisi keempat tangga lagu Billboard Hot 100.

Sejak saat itu karir Loon sebagai seorang musisi rap mulai berkibar. Ketenaran dan pundi-pundi uang pun ia raih dengan mudah. Namun, ungkap Loon, dirinya tidak pernah merasakan kepuasaan pribadi meskipun menikmati puncak kehidupan materi, kesejahteraan, sukses dan ketenaran. Seberapa keras ia berupaya, ia mengaku tak merasakan kedamaian di dalam dirinya.

Hal ini pula yang pada akhirnya mendorong rapper kelahiran Harlem, New York, 20 Juni 1975 ini untuk menemukan kebahagiaan dalam Islam. Mengutip laman voa-Islam, Loon memutuskan untuk masuk Islam setelah kumpulan lagu terakhirnya terjual 7 juta copy. Sepanjang karir bermusiknya Loon telah merilis tiga album, masing-masing bertajuk Loon (dirilis Oktober 2003), No Friends (Agustus 2006), dan Wizard of Harlem (Oktober 2006).

Selain itu ia juga telah merilis tiga belas single yang merupakan hasil kolaborasi dengan sejumlah penyanyi di negeri Paman Sam. Di antara singlenya tersebut adalah: I Need A Girl yang dinyanyikannya bersama Sean John "Diddy" Combs dan Usher; Hit The Freeway yang dinyanyikan bersama dengan Toni Braxton; dan Show Me Your Soul yang dibawakannya bersama dengan Sean "Diddy" Combs, Lenny Kravitz dan Pharrell.

Setelah memeluk Islam, ia pun merubah namanya menjadi Amir Junaid Muhadith. ''Loon bekerja di luar sistem diri saya,'' ujarnya mengenang sosoknya saat menyandang nama Loon ketika bergabung dengan Bad Boy Records. ''Kini saya bahagia menerima Islam dan menemukan kedamaian dalam hati, sesuatu yang selalui saya cari dalam bisnis musik. Terima kasih kepada Islam, sehingga saya mampu melengkapi pencarian dan kini saya sangat merasa damai. Bad Boys sudah usai. Saya kini dapat anda panggil "good boy"," paparnya dalam suatu kesempatan wawancara dengan stasiun TV Al Jazeera.

Amir menemukan cahaya Islam dua tahun lalu, tepatnya pada Desember 2008 silam ketika melakukan tur di Dubai, Uni Emirat Arab. Selama berada di Dubai, ia dibuat terkagum-kagum dengan budaya kaum Muslimin di sana. Ketika di Dubai, menurut Amir, dia mendengar lantunan adzan dan melihat orang-orang bergerak menuju masjid-masjid yang terdekat untuk menunaikan shalat. ''Mereka terlihat berakhlak mulia dan berinteraksi dengan baik dengan siapa saja,'' ujarnya.

Saat itu, sambung Amir, timbul pertanyaan dalam benaknya tentang hakikat agama mereka (Islam). Apakah Islam itu hanya khusus diperuntukkan untuk bangsa Arab, atau untuk semua manusia? Sampai akhirnya ia mendapat jawaban yang konprehensif bahwa Islam itu adalah agama untuk semua manusia, tanpa membedakan keturunan, suku dan bangsa.

Setelah berfikir mendalam, Loon pun memutuskaan untuk menerima Islam sebagai keyakinan barunya. Sejak saat itu ia berubah total. ''Saya tinggalkan dunia musik secara total. Saya keluar total dari komunitas di mana saya habiskan hidup saya sebelumnya selama 17 tahun. Sekarang saya merasakan ketenangan batin yang sejak lama saya rindukan. Saya merasa bertambah tenang lagi setelah isteri dan anak saya juga masuk Islam,'' paparnya.

Mengajak orang masuk Islam


Sebelum memeluk Islam, Loon adalah seorang penganut Kristen. Kisah hidupnya dimulai dari tumbuh besar di lingkungan terisolir (ghetto) khusus kulit hitam di Harlem, New York. Ia kemudian menjadi anggota geng jalanan hingga membentuk grup musik bergenre rap dan hip hop, dan akhirnya menemukan cahaya Islam.

Kabar bahwa ia masuk Islam pun mendapat slot khusus dalam tayangan Al Jazeera, satu-satunya stasiun jaringan berita independen di Timur Tengah. Dalam pernyataan publiknya, Loon mengatakan kedamaian dari dalam hanya bisa diperoleh dengan menyerahkan diri kepada satu tuhan. ''Hidup untuk sesudah mati, bukan untuk kehidupan saat ini, adalah kepuasan dalam meyakini, memuja dan memohon kepada Allah,'' ujarnya. "Itulah mengapa saya mempraktekkan agama Islam yang indah.''

Ketika akhirnya memeluk Islam, sempat muncul pertanyaan apakah Loon masih akan mengejar karir sebagai penyanyi rap? ''Saat ini saya fokus mempelajari Islam dan memperluas pengetahuan tentang cara hidup Islam,'' ujarnya. "Berada di posisi yang mempengaruhi, saya pertama-tama harus mampu melindungi diri sendiri,'' ujarnya.

Setelah menjadi mualaf, semangat Loon untuk belajar dan mengenal Islam lebih mendalam semakin bertambah, karena dalam dirinya tertanam niat dan tekad untuk mengajak orang lain kembali kepada Islam. Untuk merealisasikan tekadnya ini, Loon kemudian memilih untuk bergabung dengan lembaga dakwah Islam Kanada, bidang penyebaran Islam. ''Saya memiliki program khusus terkait masalah tersebut, yakni mengajak para penyanyi dan seniman top dunia untuk mengenal Islam dan prinsip-prinsipnya.''

source

Salah Satu Hidayah Ahui, Mimpi Beradzan di Atas Kabah

Petunjuk Allah bisa datang dari mana saja. Khusus bagi Ahui, hidayah itu ia peroleh dari serangkaian mimpi.

Pada usia 39, adalah awal pria keturunan Tionghoa itu mengalami serangkaian peristiwa yang akhirnya membawanya ke Islam. Saat itu ia bermimpi memasuki sebuah gedung dan mengaji di dalam gedung tersebut. Tapi ia tak memandang mimpi itu istimewa. Ahui tidak tergelitik. "Saya tidak tahu mengapa bisa mendapat mimpi itu, jadi saya abaikan saja," katanya.

Selang satu bulan, Ahui kembali bermimpi. Kali ini ia menyuarakan adzan di atas kabah. Seperti mimpi pertama, ia juga tak menghiraukanya. Lagi-lagi, berjarak satu bulan dari mimpi kedua, dalam tidurnya, Ahui melihat dirinya berwudhu dan mengucapkan kalimat syahadat.

Hingga mimpi ketiga, pikiran Ahui tetap tidak terusik. Ia masih menanggap semuanya sekedar kembang tidur.

Ketika mimpi-mimpi itu datang, Ahui tengah mencoba peruntungan dalam wirausaha yang ia rintis sejak muda. Bukan mendapat untung, ia merugi hingga bangkrut. Semua harta bendanya habis dan kondisi Ahui saat itu, tuturnya, sangat menyedihkan.

Pada tahun berikut, tepatnya 1998, Istri Ahui sakit keras. Ia divonis mengidap penyakit kanker stadium 4. Selang beberapa bulan, istrinya pun meninggal.

Sebelum jatuh sakit, rupanya istri Ahui pernah pula bermimpi membawa Al Qur'an lalu kitab itu terjatuh. "Dalam mimpinya, istri saya memasuki sebuah Masjid mengikuti sebuah pengajian. Setelah keluar dari masjid itu istri saya mendapat hadiah sebuah Al-Quran. Ketika membawa Al-Quran tersebut istri saya tersnggol oleh seseorang dan Al-Quran itu jatuh hingga terbelah menjadi dua”, tuturnya.

Ahui tak bisa lagi mengabaikan rentetan peristiwa yang ia alami. Ia mencoba mengaitkan satu demi satu kejadian tersebut. Ahui sempat kebingungan, mengapa di saat kehilangan semua harta dan orang kesayangannya, ia malah mendapatkan mimpi-mimpi yang berkaitan dengan Islam.

“Saat saya mengalami kebangkrutan saya bermimpi mengenai Islam, ketika Istri saya meninggal, isti saya juga mengalami mimpi yang berkaitan dengan Islam. Saya sendiri waktu itu tidak tahu apa itu Islam”, ungkapnya.

Ahui memang tidak pernah mengenal agama dan memeluk agama sejak ia dilahirkan. Keluarganya pun setali tiga uang. Tapi, sebagai persyaratan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Ahui mencatumkan agama Budha. Begitupun dengan keluarganya. “KTP kan harus ada agamanya, ya udah saya cantumkan saja agama Budha," kata Ahui.

Karena hanya agama KTP, ia pun mengaku tak pernah mengerti dan tahu bagaimana cara beribadah umat Budha. Ahui hanya mengikuti gerakan dan ritual yang dilakukan oleh umat Budha. “Saya melihatat orang membakar dupa, ya saya ikut bakar duha, orang berdoa ya saya ikut berdoa, padahal saya tak tahu bagaimana bacaan doanya”, aku Ahui.

Akhirnya Ahui terdorong untuk mencari tahu tentang Islam. Ia mendatangai ustad dan melakukan diskusi tentang Islam. Bahkan ia mendatangi pula beberapa orang yang ahli agama. Ia juga membaca sedikit-sedikit buku mengenai islam.

Setelah kurang lebih tiga tahun ia mencari tahu tentang Islam, Ahui memutuskan untuk memeluk agama tersebut pada akhir Febuari tahun 2001. Dari sinilah ia mulai menyusun hidup barunya.

Setelah masuk Islam, Ahui mengubah namanya menjadi Muhamad Abdul Ahui. Keputusannya memeluk Islam tak mendapat pertentangan dari keluarga. Sebaliknya, ia malah disambut baik, terutama oleh ibundanya. Ibu Ahui merasa bangga dengan anaknya yang telah memiliki agama dan berubah menjadi lebih baik setelah beragama Islam.

“Mendiang mama saya sangat bangga dengan keputusan saya memeluk agama Islam, mama saya merasa anaknya ini telah mengalami banyak perubahan yang lebih baik” ujarnya. Ahui yang mengaku sebelumnya memiliki sikap buruk seperti urakan, pemarah, tidak sabar berangsur-angsur berubah setelah memeluk islam.

“Temperamen saya yang sulit dikontrol, emosi dan gampang marah mulai bisa saya kendalikan," tuturnya. Ahui yang sempat benar-benar terpuruk akibat bangkrut, mencoba membuka usaha kembali.

Kini ia berdagang mie ayam di depan Masjid Lautze. Lokasi usahanya yang berada di depan masjid Lautze, membuat Ahui terbiasa mendengar surat-surat pendek dalam bacaan shalat.

Dari sanalah Ahui mulai mengenal bacaan shalat. Masih belum jauh dari mimpi, Ahu mengaku juga mengetahui sebagian bacaan shalat seperti Al-Fatihah dari mimpinya terdahulu. Ahui merasa mimpinya itu sangat nyata sehingga ia masih mengingat bacaan shalat dari mimpi tersebut.

“Lucu memang kalau tahu bagaimana saya bisa tahu bacaan shalat, saya tahu dan mengerti bacaan sahalat ya awalnya dari mimpi saya. Saya juga tidak mengerti kenapa mimpi saya itu bisa seperti benar terjadi di dunia nyata, mungkin itu hidayah untuk saya” ujarnya.

Tak ada kendala dari luar, tantangan terbesar Ahui setelah memeluk Islam justru datang dari dirinya. Ia mengaku masih berat untuk disiplin melaksanakan shalat 5 waktu. Sejak awal masuk Islam shalatnya masih bolong-bolong tak tepat waktu. Ahui hanya rutin melaksankan shalat Isya sementara untuk shalat lainnya masih terbengkalai.

Namun keinginannya untuk sunguh-sungguh memelajari Islam membuat memotivasinya untuk memperbaiki ibadah shalatnya. Akhirnya di tahun 2004 ia mulai rutin melaksanakan shalat 5 waktu. Pertama kali ia menunaikan shalat 5 waktu, ia merasa semua beban di kepalanya hilang. “Pikiran saya tenang seusai melaksanakan shalat 5 waktu. Saya merasakan kedamain dan kenikmatan hati”, ungkapnya.

Ahui tak hanya belajar dan menggali ilmu mengenai Islam untuk dirinya saja. Ahui juga berbagi ilmu dengan para mualaf yang baru masuk Islam. “Saya juga senang bila bisa berbagi kepada sesama mualaf yang ingin tahu mengenai Islam”, ucapnya.

Meski sudah sepuluh tahun Ahui memeluk agama Islam, ia merasa masih ingin terus menggali tentang ilmu islam hingga akhir hayatnya nanti. Ahui juga meyakini bahwa Islam merupakan ajaran terbaik di semesta alam ini. “Islam merupakan ajaran agama terbaik di semesta alam ini, hal ini tak bisa dipungkiri dan di bantah”, pungkasnya.

Source